Another Templates


Free shoutbox @ ShoutMix

Saturday 20 July 2013

Kado Terakhir

Udah lama banget sejak gue terakhir sharing cerita di blog ini. Dalam jangka waktu sejak cerita terakhir (Desember) sampai saat ini, bisa gue bilang, hidup gue melihat banyak hal baru. Awal tahun, gue berangkat ke London untuk lanjut kuliah. A lot of magical things happened in between my last times in Jakarta and the first weeks I settled down in the new city.

Beberapa minggu sebelum berangkat, melihat apa yang teman-teman gue lakuin, I know I am one of the luckiest, happiest, blessed persons on earth. Mereka mau menyisihkan waktunya untuk ketemu, ngobrol, bahkan sampai kasih surprise di weekend terakhir gue di Jakarta. Mereka bahkan ada yang sampai datang ke rumah gue sebelum gue berangkat ke bandara, bahkan ada juga yang datang mengantar ke bandara padahal waktu itu Jakarta lagi macet dan hujan besar. Sedih sih waktu itu. Tapi entah kenapa, rasanya kok kayak gue gak akan jauh dari mereka walau udah bakal beda benua. Thanks to skype, whatsapp, line, viber, tango, facebook dan teman-temannya itu.






Lalu, akhirnya tiba gue masuk ke ruang tunggu bandara bersama empat orang asing yang baru gue temui sekali, satu bulan sebelumnya. Yang terlintas di pikiran gue waktu itu adalah, "Here you go, Bi. Meet your new family and Dear God, please make things go fine and smooth as planned." Masuk pesawat, terbang 8 jam, transit di Doha 1 jam, langsung terbang lagi 8 jam dan akhirnya... selamat datang di London Heathrow International Airport.

Waktu gue baru sampe, langit London kelabu setengah mati. Kemana mata melihat warnanya cuma abu-abu gelap. Gloomy. Dingin. Suhu 2 derajat. Rasanya kayak dari gurun terus dimasukin ke ruang pendingin daging. Belum lagi ditambah rasa deg-degan karena tiba di tempat asing dan super jauh dari rumah. Kalau ada apa-apa, urus sendiri.




Setelah selesai urus barang, mobil yang gue tumpangi keluar dari parkiran, dan... "Welcome to London, Bi!" Suasana di kanan kiri jalanan udah beda, banyak pohon-pohon meranggas. Bentuk rumahnya sudah kecil-kecil compact tingkat dua. Mobil-mobilnya semua jenis city car. Gue pun kemudian tiba di tengah kota sekitar 30 menit kemudian. Gue mulai ngelewatin bangunan bentuk rumah berjejer tingkat dua, lapangan alun-alun, sungai, bianglala, jam besar, deretan jalan penuh toko yang gue tebak sebagai Kensington, Trafalgar, London Bridge, Thames River, London Eye, Big Ben dan Oxford Street.

Sampai di rumah, gak lama gue dan temen-temen didatengin sama mahasiswa senior yang sudah di London sejak tahun lalu. Malam itu kita semua diajak ke shopping centre dekat rumah untuk beli berbagai keperluan dan makan malam pertama di London dengan.. McDonald :)

Dan sejak hari itu, petualangan gue di London dimulai. Setiap hari, gak peduli cuaca sedingin apapun, maunya jalan keliling kota. Keluar masuk tube station, jalan dengan langkah super cepat kayak abis nyuri bank, ngeliat berbagai landmarks, taman, area perbelanjaan, istana, stadion bola. Nama-nama tempat seperti London Eye, Westminster Abbey, Big Ben, Kensington Palace, Buckingham Palace, St. Paul's Cathedral, Trafalgar Square, Soho, Oxford Street, Piccadilly Circus, Hyde Park, Baker Street, London Bridge, Thames River, Underground, Double decker bus, Emirates Stadium, Stamford Bridge, yang tadinya cuma pernah didenger atau baca atau lihat di televisi, mulai muncul di depan mata satu persatu. Secara langsung. Bahkan kuping rasanya seneng banget denger orang ngomong logat British.








Inggris memang dikenal dengan cuacanya yang super berantakan. Tapi seringnya, gak peduli cuaca seperti apa, mau hujan kek, dingin kek, ketampar butiran salju kek, pokoknya mau jalan ngeliat-liat kota. Sampai kadang, lupa kalau disini itu harusnya, kuliah! Hahahahaha...

Di London ini, terasa banget bahwa kota ini adalah kota yang jadi impian hampir setiap orang untuk didatangi. Setiap gue jalan, pasti ada berbagai bahasa yang gue denger. Mulai dari yang gw bisa kira macam spanyol, perancis, arab, korea, jepang, sampai yang aneh yang udah gak ketebak. Berbagai jenis orang pun ada disini. Malah bisa dibilang, sekali jalan keluar, denger bahasa asing 55%, bahasa Inggris 45%. Segala barang yang dicari juga ada disini, segala jenis pendidikan formal maupun informal juga curiganya ada disini. Pendidikan yang pasti udah dianggap wah sama orang, padahal harus liat-liat juga gimana institusinya.





Sudah lima bulan gue tinggal di kota ini, lama-lama rasanya seperti udah gak asing lagi. London lama-lama terlihat se-'biasa' Jakarta. Berbagai attractionsnya udah jadi pemandangan sehari-hari. Udah gak misuh-misuh lagi sama cuacanya yang brutal.

Tapi di sisi lain, tetep aja, setiap kali ngeliat landmarks yang bikin kota keliatan cantik, selalu kelintas pikiran, "Bi, elo di London. Ini London, Bi. Dan lo disini bukan cuma buat liburan sebentar atau apa, tapi lo tinggal dan sekolah disini." Dan setiap kali itu juga, gue akan mendadak teringat dan kangen bokap. Kalau pertengahan tahun lalu bokap gak maksa gue untuk coba ambil sekolah kesini, yang namanya Big Ben atau London Eye atau Buckingham Palace atau 10 Downing Street mungkin tetap cuma jadi barang yang cuma bisa gue tahu dari majalah atau televisi. Kalau bokap gak ingetin gue untuk "just give it a shot", gw gak mungkin bisa nikmatin rasanya tinggal di kota yang salah satu jadi kiblat dunia, bisa tahu bagaimana kehidupan di benua sebelah, bagaimana ada banyak kesempatan besar di kota yang super ini.




Setiap kali gue liat landmarks kota ini, atau ngelewatin area terkenal disini, pengen rasanya supaya bokap ngeliat hal yang sama seperti yang gue liat saat itu. Pengen rasanya cerita sama bokap hal baru yang gue temuin disini. Pengen denger bagaimana pendapat dia soal hidup gue di London. Pengen cerita sama bokap bahwa gue "kecebur" di kumpulan temen-temen yang super baik disini. Pengen bilang bahwa anaknya bahagia bisa ngeliat dunia baru. Pengen denger nasihat-nasihat dia tentang etika hidup itu harus bagaimana. Bahkan, gue kangen diomelin dia kalau dia tahu anaknya ini kerjaannya begadang dan banyak main di London sini.

Makin kesini, gue pikir, mungkin London ini adalah kado terakhir bokap buat gue. Bokap tahu bagaimana dulu gue punya keinginan lain tentang sekolah bachelor gue. Dan bagaimana akhirnya disitu posisinya bokap gue yang menang. Dan sejak lulus kuliah, gw ngotot pengen lanjut Master di luar, bukan di dalam negeri seperti yang dia pengen. Argumen dia, "Kalau nanti tiba-tiba Papa sakit terus gak bisa bertahan lama, kamu gak ada disini. Atau kalau kamu sakit kenapa-kenapa, Papa susah nemuin kamu secara cepat." Sampai dua tahun lalu, gue masih gak dibolehin sekolah ke luar negeri.

Dan tiba-tiba, pertengahan tahun lalu, dia maksa gue pergi sementara guenya udah gak se-ngotot dulu. Dan dua bulan setelah dia maksa gue sekolah ke luar negeri, tiga minggu setelah dia tahu gue diterima di sekolah itu, ternyata dia yang pergi duluan.

Entah kenapa, segala urusan gue di London ini terasa mudah. Assignments dari kampus lancar gue kerjain, ujian pun begitu. Ngatur hidup disini juga terasa mudah. I do miss my friends and family back in Jakarta, even the chaos on the city's street, but slowly but sure, the sense of comfort of living in this big city grows gradually. Dan karena di segala sesuatu yang gue lakuin itu terasa mudah, gw merasa seperti ada yang bantu gue memudahkan dan melancarkan itu semua.

Mungkin, Tuhan memang menghendaki segalanya jadi mudah buat gue. Atau, mungkin bokap merayu Tuhan diatas sana supaya segalanya mudah buat gue yang hidup sebatang kara di kota ini dan mungkin dia ikut membantu gue dari samping gue atau mungkin dia menolong gue lewat temen-temen gue disini. Sungguh gue bakal bahagia setengah mati kalau memang betul bokap ada berdiri di samping gue selama ini. Gak apa-apa rasanya walaupun gue gak bisa melihat.

Papah, terima kasih ya.



0 comments:

 

Copyright © 2010 Fiction of Truth | Blogger Templates by Splashy Templates | Free PSD Design by Amuki