Another Templates


Free shoutbox @ ShoutMix
0
comments

Friday 14 December 2012

Menghitung Sisa Waktu

Ketika kamu tahu batas waktu yang bisa kamu habiskan bersama orang-orang yang selama bertahun-tahun kamu menghabiskan hidup kamu, apa yang akan kamu lakukan?

Sekarang saya ngerti kenapa Tuhan gak pernah mau ngasih tahu batas waktu makhluk ciptaannya.

Satu malam di bulan Oktober lalu, saya mendapat telepon yang mengabarkan bahwa saya aplikasi beasiswa saya untuk sebuah universitas di London diterima. Saya berhak atas beasiswa master study selama satu tahun. Selain aplikasi beasiswa yang dikabulkan, telepon itu bilang saya harus berangkat pertengahan Februari 2013. Itu artinya empat bulan lagi. Seneng? Iya. Excited? Iya. Merasa cita-cita mulai tercapai? Iya. Ketakutan? Iya. Sedih? Ternyata iya juga.

Satu bulan lewat, saya masih seneng-seneng bangga. Satu setengah bulan lewat, mulai kasih kabar ke temen-temen kantor dan temen-temen deket, mikir gimana nanti mau farewell party-nya, atau mau jalan-jalan kemana di Indonesia sebelum berangkat. Tapi overall, masih seneng dan gak ada beban.

Dua bulan lewat, barulah tiba-tiba panik dan resign dari kantor. Setiap kali kepikir bahwa cuma punya sisa dua bulan untuk bisa kumpul-kumpul sama temen-temen dan keluarga dekat, otak langsung gak bisa mikir dan telapak tangan keringetan. Dan di tahap inilah saya sekarang. Setiap kali ketemu temen, bawaannya maunya ngumpul, seneng-seneng, ketawa-ketawa. Dan setiap kali lagi ngumpul-ngumpul itu, selalu kepikir, "Hah, kapan lagi ya gw bisa ketemu mereka? Bisa ngumpul kayak gini lagi? Bisa dengan gampang cerita kalau lagi pengen curhat?"

Mulai treasuring the time sama temen-temen deket dan keluarga is one thing. Tiba-tiba ada seseorang yang masuk di hidup saya, orang yang selama ini saya cari, is totally different thing. Naasnya, orang ini justru baru masuk di kehidupan saya, bersamaan dengan pengumuman lolosnya beasiswa saya. Lebih gigit jari lagi, orang ini sudah beredar di kehidupan saya sejak setahun yang lalu tapi baru "terasa kehadirannya" dua bulan yang lalu.

Tragisnya, semakin hari saya merasa nyaman dengan dia. Mulai dari komunikasi tiga hari sekali, dua hari sekali dan (kayaknya tanpa disadari kedua pihak) tiba-tiba jadi setiap hari. Pagi hari belum ngobrol itu rasanya aneh. Relationship yang justru makin berkembang di sisa waktu yang makin sedikit.

Akhirnya, sekarang saya sibuk bagaimana caranya memiliki quality time sebanyak mungkin dengan orang ini. Mulai dari merencanakan jalan bareng, kontak sesering mungkin dengan cara apapun, mencari berbagai alasan supaya bisa bertemu, melakukan hal sebodoh apapun. Asalkan bisa terus berhubungan dengan orang itu.

Seneng banget dong justru jadi treasuring every moment? Iya dan tidak. Iya, rasanya cuma ada bahagia setiap kali kita ngobrol. Sampai pernah seharian saya sanggup tidak melakukan apapun karena sibuk ngobrol dengan dia.

Di sisi lain, saya terlalu menyadari setiap menit dan jam yang sudah lewat, "oke, sudah satu jam kamu lewatin. Inget, tadi kalian ngapain aja. oke, sudah satu momen menyenangkan bersama dia lewat. Simpan baik-baik di ingatan kamu. Suatu hari nanti, ketika kamu kangen sama dia, gak akan segampang ini kamu menghubungi dia." Setiap pagi bangun selalu berpikir, "Sudah satu hari lewat. Satu hari penuh momen sama dia lewat. Ciptain cerita bagus lagi hari ini untuk diinget nanti. Buat sebanyak mungkin." Selalu berpikir begini, sampai mau nangis rasanya.

Belum ditambah lagi dengan bingung. Bingung karena lalu setelah akhirnya 4 bulan ini selesai dan saya harus berangkat, apa yang akan terjadi dengan hubungan yang ada sekarang ini? Do you wanna take it to the next step or let it fly freely up in the air? Tapi yang jelas saya sibuk bikin cerita-cerita menyenangkan bersama dia sesering mungkin. Sampai akhirnya saya sudah gak peduli dengan semua hal yang harus saya persiapkan sebelum berangkat. Malah, ada sedikit keinginan supaya keberangkatannya bisa semepet mungkin dari jadwal kuliah. Kalau perlu hari ini berangkat, lusa kuliah.

Ini dia jadinya kenapa Tuhan gak pernah memberi tahu batas waktu yang dimiliki makhluknya. Karena yang ada cuma bahagia, sedih, bingung jadi satu.

0
comments

Return


The mysterious end of that season
I think, did I really love you?
Somewhere, all those times that we were together
I look back to those times, as if I could touch it, as if it was yesterday

Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
You always brightly shined on my day

Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
Even the small memories are still so clear

The mysterious end of that season
I think, did I really love you?
Somewhere, all those times that we were together
I look back to those times, as if I could touch it, as if it was yesterday

Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
You always brightly shined on my day

Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
Even the small memories are still so clear

Where are we?
I look back at all those memories
Were we happy?
Only unknown feelings remain in the same place

Each moment, I think of you
That voice that quietly rang with a low tone
Even your resemblance to the spring sunlight
I still haven’t forgotten you
Where are we?
Were we happy?


-YCP-
 

Copyright © 2010 Fiction of Truth | Blogger Templates by Splashy Templates | Free PSD Design by Amuki